Pagi itu, aku berangkat ke sekolah seperti biasanya. Udara masih segar, embun menempel di dedaunan, dan sinar matahari pagi mulai menembus celah pepohonan di pinggir jalan. Di perjalanan aku berpapasan dengan beberapa orang yang aku kenal, dan seperti biasa aku menyapa mereka dengan senyum. βοΈ
Sesampainya di sekolah, sudah terlihat beberapa teman sekelasku yang datang lebih awal.
"Halo, teman-teman!" sapaku ceria.
Mereka membalas dengan senyum hangat. Aku menyimpan tas ranselku di kursi, lalu duduk sambil memandangi langit-langit kelas. Entah kenapa, tiba-tiba pikiranku melayang.
"Mengapa di kehidupan ini kita harus merasakan yang namanya perpisahan?" gumamku dalam hati. Kata orang, setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya. Mungkin benar juga.
β¦ β¦ β¦
Bel masuk berbunyi. Semua teman sekelasku berdatangan dan duduk di bangku masing-masing. Jam pelajaran pertama adalah Ilmu Pengetahuan Sosial. Hari itu, Bu Guru menjelaskan tentang perubahan sosial β bagaimana masyarakat dan nilai-nilainya terus berubah seiring waktu.
"Apakah ada yang ingin bertanya?" tanya Bu Guru usai menjelaskan.
Aku pun mengangkat tangan. "Bu, apa maksud dari peribahasa setiap masa ada orangnya, dan setiap orang ada masanya?" tanyaku pelan.
Bu Guru tersenyum, lalu menjawab, "Pertanyaan yang menarik. Peribahasa itu mengingatkan bahwa setiap orang punya waktunya sendiri untuk berperan dan berkontribusi. Setiap masa akan melahirkan orang-orang baru yang membawa perubahan. Artinya, perubahan adalah hal yang wajar, dan setiap orang memiliki masanya sendiri untuk bersinar." β¨
Aku mengangguk pelan. Jawaban itu terasa menancap dalam pikiranku.
β¦ β¦ β¦
Bel istirahat pun berbunyi. Teman-temanku mengajakku ke kantin. Kami berjalan bersama sambil tertawa, seolah semua beban sekolah hilang begitu saja. π
Di kantin, aroma gorengan dan mie instan bercampur dengan suara riuh anak-anak yang berebut tempat duduk. Setelah membeli makanan, kami kembali ke kelas dan duduk lesehan sambil makan bersama.
Tiba-tiba, salah satu temanku berkata, "Gak kerasa ya, kita udah kelas sembilan. Sebentar lagi bakal pisah."
"Perasaan baru kemarin kita kenalan waktu MPLS," saut yang lain, "eh sekarang udah hampir lulus aja."
Aku tersenyum, lalu berkata, "Makanya, selagi masih di sekolah yang sama, kita harus manfaatin waktu bareng-bareng. Soalnya nanti kalau udah lulus, susah banget buat kumpul begini lagi."
Teman-temanku terdiam sejenak, lalu mengangguk. Suasana mendadak hening.
β¦ β¦ β¦
Namun tiba-tiba, Rina β salah satu teman dekatku β menatapku agak kesal.
"Kamu ngomong gitu, tapi pas minggu kemarin kita ngajak main, kamu malah gak dateng. Katanya sibuk."
Aku terdiam. "Iya, Rin⦠maaf, waktu itu aku lagi bantu ibu di rumah. Aku bukan maksud ninggalin kalian."
Rina menunduk. "Ya udah, aku cuma kangen aja. Soalnya bentar lagi kita udah gak sekelas lagi."
Aku menatapnya dan tersenyum kecil. "Makasih udah ngingetin. Aku janji, mulai sekarang aku gak mau nyia-nyiain waktu sama kalian."
Hening sejenak berubah menjadi tawa ringan. "Kalau gitu weekend nanti kita ke taman kota, setuju?" seruku.
"Setujuuu!" jawab mereka serempak. π
Suasana kembali hangat. Kami saling bercanda, tertawa lepas, seolah tak ada beban perpisahan yang menghantui.
β¦ β¦ β¦
Tapi di sela tawa itu, aku teringat teman-teman lamaku semasa SD. Entah di mana mereka sekarang, apakah masih mengingatku? π
Serindu apapun kita pada seseorang, kalau masanya sudah habis⦠mau bagaimana lagi? Dulu aku pikir komunikasi itu hal sepele, tapi kini aku sadar, menjaga hubungan itu butuh niat dan waktu.
"Kalau bukan kita yang inisiatif, gak akan ada perubahan," pikirku dalam hati. "Kita ini makhluk sosial, harus saling bergaul sebelum waktu memisahkan."
Aku menatap wajah teman-temanku satu per satu. Dalam hati aku berjanji β kali ini aku akan benar-benar menghargai setiap detik bersama mereka. Karena mungkin, setelah ini, semuanya hanya akan menjadi kenangan. π